Pages

translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Minggu, 11 Desember 2011

Perbedaan Fitofarmaka, Obat Herbal Terstandar, dan Jamu

kali ini adalah tugas kuliah "Obat Tradisional". Mengumpulkan informasi mengenai fitofarmaka, Obat Herbal Terstandar (OHT), dan jamu. Istilah fitofarmaka dan OHT masih relatif asing di telinga masyarakat awam, padahal hal ini penting juga untuk diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Supaya gak cuma jamu saja yang familier ^^



FITOFARMAKA
Fitofarmaka merupakan sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi. Salah satu syarat agar suatu calon obat dapat dipakai dalam praktek kedokteran dan pelayanan kesehatan formal (fitofarmaka) adalah jika bahan baku tersebut terbukti aman dan memberikan manfaat klinik. Syarat fitofarmaka yang lain adalah:
-Klaim khasiat dibuktikan secara klinik
-Menggunakan bahan baku terstandar
-Memenuhi persyaratan mutu.
Untuk membuktikan keamanan dan manfaat ini, maka telah dikembangkan perangkat pengujian secara ilmiah yang mencakup uji farmakologi (pembuktian efek atau pengaruh obat), uji toksikologi (pembuktian syarat keamanan obat secara formal), dan uji klinik (manfaat pencegahan dan penyembuhan penyakit atau gejala penyakit). Uji klinik merupakan uji yang dilakukan pada manusia, setelah pengujian pada hewan (pra-klinik). Uji klinik pada manusia baru dapat dilakukan jika syarat keamanan diperoleh dari pengujian toksisitas pada hewan serta syarat mutu sediaan memungkinkan untuk pemakaian pada manusia. Pengujian klinik calon obat pada manusia terbagi dalam beberapa fase yaitu :
Fase I :
Dilakukan pada sukarela sehat untuk melihat apakah efek farmakologi, sifat farmakokinetik yang diamati pada hewan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkan dan profil farmakokinetik obat pada manusia.
Fase II :
Dilakukan pada kelompok pasien secara terbatas (100-200 pasien) untuk melihat kemungkinan penyembuhan dan pencegahan penyakit. Pada fase ini rancangan penelitian masih dilakukan tanpa kelompok pembanding (kontrol), sehingga belum ada kepastian bukti manfaat terapetik.
Fase III :
Dilakukan pada pasien dengan rancangan uji klinik yang memadai, memakai kontrol sehingga didapat kepastian ada tidaknya manfaat terapetik.
Fase IV :
Pemantauan pasca pemasaran (surveilan post marketing) untuk melihat kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak terkendali pada waktu pengujian pra klinik atauklinik fase 1 , 2 , 3.

Sampai saat ini, di Indonesia sendiri telah terdapat lima macam fitofarmaka yang telah terdaftar, salah satunya adalah Nodiar (dari Kimia Farma). Nodiar memiliki khasiat sebagai anti diare nonspesifik. Fitofarmaka ini mengandung Attapulgite 300 mg, ekstrak Psidii folium (daun jambu biji) 50 mg, dan ekstrak Rhizoma Curcuma domesticae (rimpang kunyit) 7,5 mg. Dosis yang digunakan adalah 2 kapsul sesudah buang air besar, maksimal 3x sehari.
Jika dosis sebanyak 2 kapsul dikonversikan ke dosis hewan uji berupa tikus dengan berat 200 g, maka:
dosis=(70 kg)/(60 kg)×715 mg×0,018=15,015 mg/200g tikus.
=0,075 mg/gBB tikus.
Jika diketahui berat tikus adalah 210 g, maka dosisnya menjadi:
dosis=(0,075 mg)⁄g×210 g=15,75 mg
kapsul=(15,75 mg)/(357,5 mg)×1 kapsul=0,044 kapsul
Jadi, dosis 15,75 mg setara dengan 0,044 kapsul. Maka, tikus dengan berat 210 g memerlukan 0,044 kapsul.
Daun jambu biji merupakan komposisi utama pada fitofarmaka ini karena berdasarkan pengalaman empiric, tanaman ini dapat menghentikan diare. Dosis empiriknya sebanyak 9 lembar daun jambu biji dibuat infusa bersama dengan kunyit sebanyak 1 jari, 4 butir biji kedawung (disangrai), 4 g rasuk angin, 110 ml air. Diminum 2 kali sehari, yaitu pagi dan sore. Setiap kali minum 100 ml, dan diulang selama 4 hari. Berdasarkan penelitian, daun jambu biji mengandung total minyak 6% dan minyak atsiri 0,365%; 3,15% resin; 8,5% tannin, dan lain-lain. Komposisi utama minyak atsiri yaitu pinene limonene, menthol, terpenyl acetate, isopropyl alcohol, longicyclene, caryophyllene, bisabolene, caryophyllene oxide, copanene, farnesene, humulene, selinene, cardinene dan curcumene. Minyak atsiri dari daun jambu biji juga mengandung nerolidiol, sitosterol, ursolic, crategolic, dan guayavolic acids. Selain itu juga mengandung minyak atsiri yang kaya akan cineol dan empat triterpenic acids sebaik ketiga jenis flavonoid yaitu; quercetin, 3-L-4-4- arabinofuranoside (avicularin). Kuersetin menunjukkan efek antibakteri dan antidiare dengan mengendurkan otot polos usus dan menghambat kontraksi usus. Berdasarkan studi mengenai ekstrak daun jambu biji, adanya kuersetin dapat menghambat pelepasan asetilkolin di saluran cerna.





OBAT HERBAL TERSTANDAR
Obat Herbal Terstandar (OHT) merupakan sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi. OHT memiliki grade setingkat di bawah fitofarmaka. OHT belum mengalami uji klinis, namun bahan bakunya telah distandarisasi untuk menjaga konsistensi kualitas produknya. Uji praklinik dengan hewan uji, meliputi uji khasiat dan uji manfaat, dan bahan bakunya telah distandarisasi.
Ada lima macam uji praklinis yaitu uji eksperimental in vitro, uji eksperimental in vivo, uji toksisitas akut, uji toksisitas subkronik, dan uji toksisitas khusus. Uji toksisitas akut bertujuan mencari besarnya dosis tunggal yang membunuh 50% dari kelompok hewan coba (LD50). Pada tahap ini sekaligus diamati gejala toksik dan perubahan patologik organ pada hewan yang bersangkutan. Sedangkan uji toksisitas jangka panjang (subkronik dan kronik), bertujuan meneliti efek toksik pada hewan coba setelah pemberian obat ini secara teratur dalam jangka panjang dan dengan cara pemberian seperti pada pasien nantinya. Lama pemberian bergantung pada lama pemakaian nantinya pada penderita. Penelitian toksisitas jangka panjang meliputi penelitian terhadap system reproduksi termasuk teratogenisitas dan mutagenisitas, serta uji ketergantungan. Walaupun uji farmakologi-toksikologik pada hewan ini memberikan data yang berharga, ramalan tepat mengenai efeknya pada manusia belum dapat dibuat karena spesies yang berbeda tentu berbeda pula jalur dan kecepatan metabolisme, kecepatan ekskresi, sensitivitas reseptor, anatomi, atau fisiologinya.
Kriteria Obat Herbal Terstandar antara lain:
-Aman
-Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah atau pra-linik
-Bahan baku yang digunakan telah mengalami standarisasi
-Memenuhi persyaratan mutu.
Di Indonesia telah terdapat kurang lebih 17 macam OHT, salah satunya yang memiliki kandungan hampir sama dengan Nodiar adalah Diapet. Sama seperti Nodiar, Diapet memiliki khasiat sebagai anti diare. OHT ini dapat memadatkan feces yang cair, sekaligus mengatasi rasa mulas. Obat ini memiliki kandungan Psidii folium 144 mg, Curcumae domesticae rhizome (rimpang kunyit) 120 mg, Coicis semen 246 mg, Chebulae fructus 48 mg, dan Granati pericarpium 42 mg. Daun jambu biji atau Psidii folium diduga menjadi kandungan utama dalam formulasi obat ini. Sumber lain menyebutkan bahwa zat yang berperan sebagai antidiare dalam daun jambu biji adalah tanin. Dalam penelitian terhadap daun kering jambu biji yang digiling halus, diketahui kandungan taninnya sampai 17,4%. Makin halus serbuk daunnya, makin tinggi kandungan taninnya. Senyawa itu bekerja sebagai astrengent, yaitu melapisi mukosa usus, khususnya usus besar. Tanin juga menjadi penyerap racun dan dapat menggumpalkan protein.
Untuk memanfaatkan jambu biji sebagai obat diare dapat dilakukan
dengan merebus 15 - 30 g daun kering jambu biji dalam air sebanyak 150
- 300 ml. Perebusan dilakukan selama 15 menit setelah air mendidih.
Hasil rebusan disaring dan siap untuk diminum sebagai obat diare. Bila
ingin memanfaatkannya dalam bentuk segar, diperlukan 12 lembar daun
segar, dicuci bersih, ditumbuk halus, ditambah ½ cangkir air masak dan garam secukupnya. Hasil tumbukan diperas, disaring, lalu diminum. Supaya terasa enak, ke dalamnya bisa ditambahkan madu.
Menurut informasi yang tertera pada kemasan, Diapet memiliki dosis dua kapsul dalam sekali pakai. Setiap tablet berat komposisinya adalah 600 mg. Bila dosis 2 tablet tersebut dikonversikan ke dosis hewan uji berupa tikus, dengan faktor konversi dari dosis manusia dengan berat 70 kg, ke dosis tikus dengan berat 200 g sebesar 0,018 maka dosisnya menjadi:
(70 kg)/(60 kg)×1200 mg×0,018=25,2 mg/200 gBB tikus
= 0,1275 mg/gBB tikus.
Apabila diketahui berat badan tikus sebesar 210 g, maka:
dosis=(0,1275 mg)⁄g×210 g=26,775 mg
kapsul=(26,775 mg)/(600 mg)×1 kapsul=0,045 kapsul

Jadi, dosis 26,775 mg setara dengan 0,044 tablet, sehingga tikus dengan berat 210 g memerlukan 0,045 kapsul.





JAMU
Jamu adalah sediaan bahan alam yang khasiatnya belum dibuktikan secara ilmiah, namun khasiat tersebut dipercaya oleh orang berdasarkan pengalaman empiric. Dalam sediaan jamu, bahan baku yang digunakan pun belum mengalami standarisasi karena masih menggunakan seluruh bagian tanaman.

Kriteria jamu antara lain adalah sebagai berikut:
-Aman
-Klaim khasiat dibuktikan secara empiris
-Memenuhi persyaratan mutu.

Jumlah produk jamu di Indonesia mencapai ribuan, salah satunya adalah ProRhoid. Produk jamu ini memiliki kandungan yang hampir sama dengan Nodiar dan Diapet, yaitu mengandung Curcuma domestica rhizome (rimpang kunyit) sebanyak 750 mg. Selain itu, bahan-bahan yang terkandung dalam ProRhoid adalah Grapthophyllum pictum folium (daun ungu) 750 mg, dan Centella asiatica herb (pegagan) 1000 mg. Karena jumlahnya paling banyak, kemungkinan kandungan utamanya adalah Centella asiatica (pegagan). ProRhoid memiliki khasiat untuk meringankan wasir.
Pegagan memiliki kandungan asiaticoside. thankuniside, isothankuniside, madecassoside, brahmoside, brahmic acid, brahminoside, madasiatic acid, meso-inositol, centelloside, carotenoids, hydrocotylin, vellarine, tanin serta garam mineral seperti kalium, natrium, magnesium, kalsium dan besi. Penggunaan pegagan secara empiric sebagai obat wasir adalah dengan merebus 3-4 pohon pegagan dengan 2 gelas air selama 5 menit lalu diminum.
Dosis proRhoid yang digunakan dalam 1x pakai adalah dua kapsul pada awal pemakaian, selanjutnya satu kali pakai, satu kapsul. Setiap kapsul proRhoid mengandung 1 g herba pegagan. Apabila dibutuhkan dosis sebanyak 2 kapsul, maka herba pegagan yang akan masuk ke dalam tubuh adalah 2 g.

Jika dikonversikan ke dosis hewan uji berupa tikus, maka:
dosis=(70 kg)/(60 kg)×2 g×0,018=(0,042 g)⁄(200 gBB) tikus
=(0,00021 g)⁄gBB tikus

Apabila diketahui berat tikus adalah 210 g, maka:
dosis= (0,00021 g)⁄(gBB )×210 g=0,0441 g
tablet=(0,0441 g)/(1 g)×1 tablet=0,0441 tablet.
Jadi, dosis 0,0441 gram setara dengan 0,0441 tablet, sehingga tikus dengan berat 210 memerlukan 0,0441 tablet.


dari berbagai sumber

Respon Imun Alamiah Terhadap Infeksi Bakteri Menyusul Paparan Hyperoxia Akibat Gangguan di NRF-2

ini adalah salah satu tugas kuliah saya, yaitu membuat resume salah satu jurnal internasional yang berkaitan dengan Immunology, pada mata kuliah "Immunology dan Biomolekuler". Dengan bantuan Google Translate, dan mengandalkan kemampuan diri sendiri dengan susah payah, akhirnya tugas ini pun tertunaikan juga -__-"
Well, semoga bermanfaat ^^


Judul jurnal: Innate Immunity against Bacterial Infection following Hyperoxia Exposure Is Impaired in NRF2-Deficient Mice

Suplementasi oksigen, yang sering memicu terjadinya hyperoxia, digunakan secara luas untuk mendukung pasien sakit kritis dengan gangguan pernafasan parah. Hyperoxia dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi paru-paru. Gangguan pada factor NF-E2 yang berhubungan dengan 2 (Nrf2), sebuah transkripsi utama dari pengatur jalur respon berbagai stress dapat meningkatkan kerentanan terhadap hyperoxia akibat cedera paru-paru pada tikus, dan juga menunjukkan hubungan antara polimorfisme pada promotor NRF2 dan peningkatan kerentanan terhadap cedera paru-paru akut, dan memiliki hubungan antara polimorfisme pada promoter NRF-2 dan peningkatan kerentanan terhadap cedera paru-paru akut. Tikus yang terkena hyperoxia sublethal mati selama pemulihan dari infeksi bakteri Pseudomonas aeruginosa. Kekurangan NRF-2 disebabkan oleh beban bakteri persisten dan peningkatan infiltrasi sel inflamasi serta edema. Suplemen berupa glutation selama menderita hyperoxia, dapat memulihkan sel, sehingga mampu menyusun respon antibakteri dan menekan ekspresi sitokin. Biosintesis glutation memerlukan enzim antioksidan seperti Gclc.
Di dalam percobaan, digunakan tikus yang diberikan paparan hyperoxia, kemudian diinfeksikan bakteri P. aeruginosa. Dari hasil percobaan tersebut didapatkan hasil infeksi P aeruginosa menyebabkan kematian pada tikus yang diinduksi hyperoxia, akibat defisiensi NRF-2. Hasil juga menunjukkan bahwa hyperoxia menyebabkan stress persisten oksidatif di makrofag alveolar pada absence Nrf2. Stres dalam makrofag alveolar tersebut akibat kekurangan Nrf2. Stres oksidatif dikenal untuk menginduksi ekspresi inflamasi sitokin. Penambahan P. aeruginosa kepada macro- aeruginosa untuk makrofag, menstimulasi ekspresi Il-6 pada kelompok kontrol dan mantan penderita hyperoxia ditimbulkan oleh makrofag, masing-masing 305 dan 217 kali lipat. Ekspresi Il-6 meningkat 2,4 kali lipat di sel nrf-2 setelah paparan hyperoxia, dibandingkan control. Ada peningkatan kuat dari Il-6 pada kontrol terinfeksi (4700 kali lipat), dan kelompok hyperoxia (652 kali lipat). Induksi dari Il-6 menurun dengan suplementasi GSH pada P. aeruginosa kelompok control terifeksi dan kelompok hyperoxia. Dengan demikian, hilangnya kekebalan Nrf2 dapat merusak paru-paru dan mempromosikan kerentanan terhadap bakteri. Infeksi setelah paparan hyperoxia, pada akhirnya menyebabkan kematian dari inang.
Secara kolektif, temuan ini menunjukkan bahwa NRF-2, pengatur respon transkripsi, sangat penting untuk mengurangi bakteri yang disebabkan oleh cedera dan radang paru-paru serta kematian pada tikus sehat dengan induksi hyperoxia. NRF-2 (respon transkripsi teregulasi) bersifat kritis untuk regulasi inflamasi (khususnya akumulasi makrofag), dan pada pengaturan integritas sel epitel selama infeksi mikroba sekunder mengikuti terjadinya permulaan luka. Karena polimorfisme promoter pada factor transkripsi ini berhubungan dengan peningkatan kerentanan terhadap ALI dan inflamasi terinduksi bakteri pada manusia, jalur target NRF-2 mungkin bisa menjadi strategi terapetik yang penting dalam monitoring inflamasi paru-paru.

Benang Merah Antara Hipertensi , Diabetes Mellitus, dan Gagal Ginjal

Share materi kuliah….

Hipertensi merupakan penyakit tekanan darah yang melebihi normal. Menurut beberapa literature, tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg. 120 mmHg merupakan tekanan sistolik, yaitu keadaan saat jantung memompa darah dari dalam jantung ke seluruh tubuh. Sedangkan angka 80 mmHg merupakan tekanan diastolic, yaitu keadaan saat jantung mengumpulkan darah yang akan dipompakan kembali ke tubuh.
Menurut JNC VII, klasifikasi hipertensi adalah sebagai berikut:
kategori Sistolik (mmHg) Diastolic (mmHg)
normal <120 dan <80
prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi stage 2 ≥160 atau ≥100

Berdasarkan etiologi (penyebab), hipertensi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Hipertensi esensial
Hipertenssi esensial merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya secara pasti. Bisa karena factor genetik terkait kualitas pembuluh darah yang buruk.
b) Hipertensi sekunder
Hupertensi sekunder dapat disebabkan oleh beberapa factor, antara lain karena penyakit seperti Diabetes Mellitus (DM).
Mekanisme:
Pada penderita DM, darah memiliki viskositas (kekentalan) yang tinggi, sehingga dapat mengganggu laju alir darah. Terhambatnya aliran darah tersebut menyebabkan jantung bekerja lebih keras untuk memenuhi supply kebutuhan darah bagi seluruh tubuh. Akibatnya, tekanan darah pun meningkat (hipertensi).
Viskositas darah yang tinggi juga dapat menyebabkan pengendapan di Glomerulus (salah satu komponen ginjal), sehingga dapat menyebabkan gagal ginjal karena proses pengeluaran urin terganggu.